Sabtu, 01 Oktober 2016

Filsafat, Ilmu, dan Ilmu Pendidikan

             Filsafat dalam arti sekarang mulai dikenal sejak zaman Yunani kuno. Para tokoh filsafat pada waktu itu adalah Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Socrates mengajarkan bahwa manusia harus mencari kebenaran dan kebijakan dengan cara berpikir secara dialektis. Plato mengatakan kebenaran hanya ada di alam ide yang bisa diselami dengan akal, sedang Aristoteles merupakan peletak dasar empirisme, yaitu kebenaran harus dicari melalui pengalaman panca indra.
            Para tokoh filsafat di atas yang kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh yang lain, walaupun pandangan mereka belum tentu sama, membuahkan suatu pemahaman tentang filsafat. Filsafat ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu di sini dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Bila berarti terbatas, filsafat membatasi diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas, filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni, dan sebagainya.
            Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung es, kita hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami sampai ke dasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
           Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu metafisiska, epistemologi, logika, dan etika, dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut:
1.      Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang hakikat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. Dalam kaitannya dengan manusia, ada dua pandangan yaitu: (Callahan, 1983)
a.       Manusia ada hakikatnya adalah spiritual. Yang ada adalah jiwa atau roh, yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri. Pandangan ini dianut oleh kaum Idealis, Skolastik, dan beberapa Realis.
b.      Manusia adalah organisme materi. Pandangan ini dianut kaum Naturalis, Materalis, Eksperimentalis, Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk hidup. Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan manusia menjadi kenyataan.
2.      Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai berikut:
a.       Ada lima sumber pengetahuan yaitu:
1)      Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan tabel.
2)      Common sense, yang ada pada adat dan tradisi.
3)      Intuisi yang berkaitan dengan perasaan.
4)      Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman.
5)      Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.
b.      Ada empat teori kebenaran yaitu:
1)      Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsisten dengan kebenaran umum.
2)      Koresponden, sesuatu akan benar bila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan.
3)      Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan.
4)      Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
3.      Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika diharapkan manusia bisa berpikir dan mengemukakan pendapatnya secara tepat dan benar.
4.      Etika ialah filsafat yang menguraikan tentang perilaku maniusia. Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat etika sangat besar mempengaruhi pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangkan perilaku manusia, antara lain afeksi peserta didik.
Sesudah kita mengetahui sedikit tentang filsafat, pembahasan ini kita teruskan dengan hubungan antara filsafat dengan ilmu. Pada zaman kuno yang ada hanyalah filsafat. Para ahli pikir pada waktu itu mempelajari dan memikirkan segala sesuatu yang ada di alam ini yang menarik minat mereka. Seolah-olah informasi yang ada di alam ini masuk semua ke dalam benak mereka. Mereka itulah para filsof. Bagi anggota masyarakat yang ingin mengetahui atau mempelajari sesuatu akan datang bertanya atau menjadi siswa pada salah seorang dari filsof ini. Sebab satu-satunya yang banyak mengetahui tentang alam ini adalah mereka.
Suasana penguasaan pengetahuan pada waktu itu dapat dibandingkan dengan sesuasa pemegang kekuasaan pada kepala-kepala suku. Pada zaman sebelum negara banyak berdiri, kepala suku inilah yang memegang semua kekuasaan dalam sukunya. Dia sebagai kepala pemerintahan, ketua pengadilan, pemimpin militer, dan penguasa-penguasa lainnya. Pada masyarakat seperti ini belum ditemukan diferensiasi jabatan.
Sama halnya dengan di zaman suku-suku pada zaman kuno inipun belum ditemukan diferensiasi pengetahuan. Satu-satunya pengetahuan adalah filsafat. Semua macam pengetahuan berakumulasi pada filsafat. Namun beberapa ahli sesudah zaman itu mulai berpikir-pikir tentang kebenaran filsafat. Beberapa di antara mereka tidak merasa puas akan kebenaran itu. Mereka mulai mencarai jalan sendiri-sendiri untuk menemukan kebenaran yang dapat memuaskan dirinya. Salah satu hasil upaya mereka adalah melahirkan ilmu. Selanjutnya ilmu-ilmu makin berdiferensiasi sehingga terbentuklah berbagai bidang ilmu yang kina kenal sekarang.
Jujun (1985) menulis bahwa filsafat, meminjam pemikiran Will Durant, dapat diibaratkan pasukan merinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri dalam suatu invlasi militer ke sebuah pulau. Pasukan infantri baru bisa masuk dan berfungsi setelah pantai dikuasai oleh pasukan mariner. Suatu ilmu baru muncul setelah terjadi pengkajian dalam filsafat. Filsafat merupakan tempat berpijak bagi kegiatan pembentukan ilmu itu. Dikatakan selanjutnya bahwa setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, dalam rangka menyempurnakan kemenangan ini untuk membentuk ilmu sebagai pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan, ilmu terwujud, maka filsafat pun pergi.
Penggambaran di atas yang mengibaratkan filsafat sebagai pasukan mariner dan ilmu sebagai pasukan infantri menambah kejelasan kita tentang jasa filsafat terhadap berbagai bidang ilmu. Karea itu filsafat dikatakan sebagai induk dari semua bidang ilmu. Dari filsafatlah ilmu-ilmu itu lahir. Dalam penjelasan-penjelasan berikutnya akan dapat diketahui berapa erat kaitan antara filsafat dengan ilmu.
Jujun juga membahas sifat ilmu pada taraf peralihan yang dibedakan dengan sifat ilmu yang sudah benar-benar mapan. Ketika ilmu baru muncul, baru terlepas dan filsafat sebagai induknya, ilmu masih punya pertautan dengan filsafat. Pada taraf ini ilmu masih mengguanakan norma-norma filsafat, yaitu norma-norma tentang bagaimana seharusnya. Penemuan-penemuan ilmiah masih dikonfirmasikan kepada norma-norma filsafat.
Pada taraf selanjutnya, ilmu menyatakan dirinya otonom, ia bebas sama sekali dengan konsep-konsep dan norma-norma filsafat. Ilmu mengungkapkan penemuan-penemuannya hanya berdasarkan apa adanya di lapangan. Ilmu mengemukakan hakikat alam beserta isinya sebagaimana adanya, bebas dari norma-norma yang diciptakan oleh manusia.
Dalam bukunya yang lain, Jujun (9181) membagi proses perkembangan ilmu menjadi dua bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lain. tingkat proses perkembangan yang dimaksud adalah:
1.      Tingkat empiris ialah ilmu yang baru ditemukan di lapangan. Ilmu yang masih berdiri sendiri-sendiri, baru sedikit bertautan dengan penemuan lain yang sejenis. Pada tingkat ini wujud ilmu belum utuh, masing-masing sesuai dengan misi penemuannya karena belum lengkap.
2.      Tingkat penjelasan atau teoritis, adalah ilmu yang sudah mengembangkan suatu struktur teoritis. Dengan struktur ini ilmu-ilmu empiris yang masih terpisah-pisah itu dicari kaitannya satu dengan yang lain dan dijelaskan sifat kaitan itu. Dengan cara ini struktur berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu empiris itu menjadi suatu pola yang berarti.
Dan uraian di atas sudah berkenalan dengan ilmu empiris berupa simpulan-simpulan penelitian dan konsep-konsep serta ilmu teoritis dalam bentuk teori-teori. Setiap ilmuwan seharusnya tidak merasa puas dengan menemukan konsep-konsep saja, melainkan perlu diteruskan sampai terbentuk suatu teori.
Pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu. Sama halnya dengan ilmu-ilmu yang lain, pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat. Sejalan dengan proses perkembanga ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.
Di zaman Yunani kuno, bangsa Sparta mendidik anak-anaknya menjadi warga negara yang sehat, berdisiplin tinggi, dan tangkas menjadi militer, dengan tujuan utama mempertahankan keutuhan bangsa dari gangguan bangsa lain. pandangan manusia tentang manusia mulai menunjukkan titik terang, yang diawali pada zaman Arthena, yaitu pada zaman Romawi, dan diteruskan pada zaman Humanisme sampai sekarang.
Zaman-zaman tersebut masing-masing punya ciri-ciri. Zaman Arthena mulai memperhatikan kemerdekaan manusia dan keharmonisan jasmani-rohani. Sementara itu Romawi meneruskannya kepada ketatanegaraan, hukum, kehidupan sehari-hari, dan pendidikan agama. Sedangkan tujuan utama pada zaman Humanisme ialah membentuk manusia yang harmonis dalam arti yang luas dengan pelajaran-pelajaran yang klasik yaitu kebudayaan Yunani dan Romawi. Dan pada abad ke-18 ada satu hal yang menonjol patut diketahui ialah gerakan nasionalisme. Pada zaman ini filsafat hidup manusia dikuasai oleh keinginan yang kuat untuk membentuk negara sendiri. Sebab itu muncullah pendidikan nasional di sejumlah wilayah yang berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara sendiri. Dengan salah satu akibat negatif ialah timbulnya sifat kegilaan terhadap tanah air (chaufinisme) di jerman yang melahirkan bencana perang dunia.
Pada zaman nasionalisme itulah pendidikan sebagai ilmu mulai muncul. Zaman ini dikatakan sebagai kebangkitan Ilmu Pendidikan, sebab komponen-komponen ilmu itu mulai lengkap. Ilmu pendidikan telah memisahkan diri secara sempurna dari induknya yaitu filsafat. Salah satu tokoh yang sangat dikenal ialah Johann Gottlieb Fichte yang hidup pada tahun 1762-1814.
 Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perebutan pengaruh dalam dunia pendidikan yaitu antara pembawaan dan lingkungan. Schopenhauer berpendapat bahwa anak manusia  sudah dibekali segala sesuatu sejak dilahirkan. Bila sudah sampai waktunya semua bekal itu akan menjadi realitas. Pendidikan tidak ada gunanya. Aliran ini disebut Nativisme, dari kata nativus yang artinya pembawaan. Bertentangan dengan aliran ini, ialah aliran Empirisme, berpendapat bahwa lingkunganlah yang memegang peranan dalam menentukan maju mundurnya hidup dan kehidupan manusia. Kata empirisme berasal dari kata empiria yang berarti lingkungan. Tokohnya adalah John Locke yang terkenal dengan teori tabularasa. Tabularasa adalah meja yang dilapisi lilin tempat menulis orang-orang Yunani kuno. Pendamai kedua teori itu adalah William Stern, yang kemudian diikuti oleh Woodworth dan Marquis, yang menciptakan teori Konvergensi. Teori ini memandang kekuasaan pembawaan dan lingkungan adalah sama dalam perkembangan manusia.
Ketiga teori tersebut di atas masih mewarnai teori-teori pendidikan pada zaman modern. Dalam aliran Behaviorisme misalnya, B.F. Skinner sebagai peletak dasar teori Determinism Enviromental, menyatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan, perilaku, saraf, dan fisik manusia. Dia sama sekali tidak percaya akan adanya faktor kognisi dan introspeksi pada diri manusia. (Zanti Arbi, 1988).
Sama halnya dengan teori lingkungan, teori pembawaan pun masih berguna dalam zaman modern. Jensen dengan hasil-hasil penelitiannya tahun1969 membangkitkan kembali teori pembawaan (Zanti Arbi, 1988). Jensen menemukan bahwa rata-rata skor tes mental anak-anak kulit putih berbeda 15 macam dengan skor tes mental anak-anak kulit hitam. Dari 15 perbedaan itu hanya tiga atau empat saja yang bertalian dengan perbedaan lingkungan atau kebudayaan, selebihnya dijelaskan oleh perbedaan-perbedaan dalam konstitusi genetik. Hasil penelitian Christopher Jencks dan kawan-kawannya juga mendukung penelitian di atas, yang menyatakan bahwa hubungan antara kesempatan mendapat pendidikan dengan sukses dalam masyarakat Amerika Serikat tidak tinggi atau tidak pasti. Pendidikan hanya memainkan peranan yang marginal dalam mencapai kesamaan, kesempatan, dan mobilitas sosial.
Dari uraian tersebut tampak bahwa ilmu, termasuk ilmu pendidikan, lahir dari filsafat umum. Namun ada konsep lain yang menyatakan bahwa ilmu lahir dari filsafat umum melalui perantara, yaitu filsafat ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam hal ini kelahiran ilmu ekonomi akan dibantu oleh filsafat ekonomi, kelahiran IPA dibantu oleh filsafat IPA, kelahiran ilmu pendidikan dibantu oleh filsafat pendidikan, dan sebagainya.
Sikun Pribadi (ISPI, 1989) menggambarkan hubungan filsafat, filsafat pendidikan, ilmu pendidikan, ilmu pendidikan praktis, perubahan pendidik, pengalaman pendidik, dan keyakinan pendidik, sebagai berikut:
  • Filsafat atau filsafat umum atau filsafat negara menjadi sumber segala kegiatan manusia atau mewarnai semua aktivitas warga negara suatu bangsa.
  • Filsafat pendidikan dijabarkan dari filsafat, artinya filsafat pendidikan tidak boleh bertentangan dengan filsafat.
  • Selanjutnya ilmu pedidikan (yang bersifat teoritis) ada diurutan ketiga, sebab ia dijabarkan dari filsafat pendidikan. Di sinilah teori-teori pendidikan dirumuskan.
  • Ilmu pendidikan praktis merupakan konsep-konsep pelaksanaan teori-teori pendidikan di atas. Jadi ini dijabarkan dari teori-teori pendidikan.
  • Pada langkah berikutnya adalah perbuatan mendidik, yaitu tindakan-tindakan nyata dalam menerapkan teori pendidikan praktis.
  • Sebagai akibat dari perbuatan mendidik, akan mendapatkan pengalaman tentang mendidik. Sudah tentu pengalaman ini didapatkan di lapangan.
  • Pengalaman ini memberi umpan balik kepada teori pendidikan yang terdapat dalam ilmu pendidikan, yang memanfaatkannya untuk kemungkinan merevisi teori semula.
  • Sebagai akibat dari revisi tadi, sangat mungkin ilmu pendidikan memberi umpan balik kepada filsafat pendidikan, dan kemungkinan merevisi konsep-konsepnya.
  • Ilmu pendidikan juga mengadakan kontak hubungan dengan pengalaman-pengalaman mendidik, untuk selalu mengingatkan diri agar tidak menyimpang dari teori-teori mendidik.
  • Sementara itu perbuatan-perbuatan mendidik bisa menimbulkan keyakinan tersendiri tentang pendidikan. Suatu keyakinan yang belum tampak pada filsafat, filsafat pendidikan, maupun pada ilmu pendidikan. Keyakinan ini memberi bahan baru kepada filsafat, untuk dipikirkan kembali dan dimasukkan ke dalam filsafat. 
Referensi :
Made Pidarta. 2013. Landasan Kependidikan. Jakarta: Asdi Mahasatya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar