Minggu, 02 Oktober 2016

Filsafat Pendidikan di Indonesia

         
Bangsa Indonesia baru memiliki filsafat umum atau filsafat negara ialah Pancasila. Sebagai filsafat negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang, dan mewarnai segala segi kehidupan dari hari ke hari. Secara konsep memang seharusnya demikian. Tetapi dalam praktik cukup sulit hal itu dilaksanakan. Mengapa demikian? Karena tindakan manusia dalam praktik kehidupan sehari-hari perlu ditanamkan, dikembangkan, dan dibiasakan sejak kecil. Ini berarti menyangkut pendidikan.
            Bila saja pemasyarakatan dan pembudayaan Pancasila dilakukan dengan cara memasukkannya ke dalam setiap tindakan atau kegiatan manusia sehari-hari, termasuk ke dalam mengajarkan suatu bidang studi, tetapi cara ini tidak akan menjamin efektivitas dan efisiensi pekerjaan itu. Sebab si pelaku tidak tahu secara jelas bagaimana memasukkannya, bagian-bagian mana yang dimasukkan, dan kapan dimasukkan. Para pelaku atau para pemimpin kegiatan belum semuanya paham akan hal ini.
            Belum ada upaya mengoperasionalkan Pancasila agar mudah diterapkan dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat, termasuk penerapannya dalam dunia pendidikan. Kalaupun ada bidang studi menyangkut moral Pancasila, sebagian besar diterapkan seperti melaksanakan bidang-bidang studi lain. Pendidik mengajarkannya, peserta didik menyerap pengetahuan itu, dan kalau sudah tiba saatnya peserta didik berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan pendidik dalam ujian-ujian. Namun, sekarang sudah mulai ada perbaikan terhadap pengembangan afeksi itu, tidak lagi hanya menilai penguasaan materi, melainkan mengutamakan perilaku sehari-hari.
            Sementara itu dunia pendidikan di Indonesia belum punya konsep atau teori-teori sendiri yang cocok dengan kondisi, kebiasaan atau budaya Indonesia tentang pengertian pendidikan dan cara-cara mencapai tujuan pendidikan. Sebagian konsep atau teori pendidikan diimpor dari luar negeri sehingga belum tentu valid untuk diterapkan di Indonesia.
Teori-teori bisa didapat dengan cara belajar di luar negeri, atau dengan cara melakukan studi banding. Dan yang paling banyak dilakukan adalah dengan mendatangkan buku atau membeli buku dan negara lain itu. Inilah sumber-sumber konsep pendidikan di Indonesia. Kalaupun ada usaha menyususn sendiri konsep pendidikan sebagian besar juga bersumber dari buku-buku ini. Begitu pula tentang konsep-konsep pendidikan yang ditatarkan dalam penataran-penataran pendidikan juga bersumber dari buku buku-buku. Dengan demikian dapat diibaratkan membuat manusia yang dicita-citakan seperti menempa patung dengan cetakan luar negeri. Hasilnya tentu tidak persis seperti manusia yang dicita-citakan, karena cetakan itu sendiri belum ada di Indonesia.
            Memang benar ada sejumlah konsep pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari dalam negeri sendiri. Tetapi konsep-konsep itu sendiri belum dikaji lebih lanjut melalui penelitian-penelitian pendidikan, yang membuat validitasnya masih diragukan. Sampai di mana efektivitas kepemimpinan Tut Wuri Handayani misalnya, belum banyak diteliti dan dikomunikasikan. Begitu pula dengan kepemimpinan Asta Barata juga belum banyak diteliti orang. Sehingga konsep-konsep pendidikan yang tumbuh di negeri sendiri hanya dipandang sebagai kebudayaan saja oleh dunia pendidikan internasional.
            Ditinjau dari segi arah pengembangan pendidikan di Indonesia masih terjadi perbedaan. Belum ada kekompakan di antara para ahli dan pecinta poendidikan mengenai ilmu pendidikan yang diinginkan. Sebagian berorientasi pada ilmu pendidikan di Eropa dan sebagian lagi berorientasi pada pendidikan di Amerika Serikat. Orientasi yang tidak sama ini lebih meningkatkan kerumitan upaya membentuk ilmu pendidikan di Indonesia lengkap dengan filsafat pendidikannya.
Buchori menyatakan adanya penyederhanaan dalam pendidikan sebagai akibat dari orientasi ke Amerika Serikat. Pendidikan cenderung hanya mempersoalkan masalah-masalah operasional, khususnya tentang proses belajar-mengajar di kelas (Soedomo, 1990). Pendidikan hanya dipandang sebagai upaya mengajarkan sesuatu kepada peserta didik. Badan Ilmu Pendidikan itu sendiri sebagai suatu yang utuh menjadi terabaikan.
Untuk Amerika Serikat yang menganut filsafat Pragmatis dengan filsafat pendidikan, progresivis penyederhanaan makna pendidikan tersebut di atas bisa diterima. Mengingat mereka tidak mempunyai tujuan pendidikan yang pasti. Karena itu mereka juga tidak membutuhkan  alat pendidikan yang pasti. Tujuan pendidikan dan alat pendidikan mereka sangat mungkin akan berganti terus untuk selalu menemukan yang lebih baik bagi kehidupan manusia. Sehingga mereka mengatakan tujuan dan alat pendidikan adalah sama. Hal inilah yang membuat mereka memandang pendidikan itu hanya sebagai cara untuk membuat anak-anak belajar, alias hanya sebagai proses belajar-mengajar.
Negara Indonesia tidak sama seperti Amerika Serikat. Indonesia punya cita-cita yang pasti dalam pendidikan, yang harus dikejar dan diwujudkan, yaitu manusia Indonesia seutuhnya yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila. Untuk mencapai hal ini perlu ada alat yang pasti pula. Alat ini akan menjadi efektif kalau ia dijabarkan dan berkaitan erat dengan badan ilmu pendidikan yang utuh yang mencerminkan dunia Indonesia dengan iklim, geografis, dan budayanya yang khas. Dengan kata lain, pendidikan di Indonesia perlu diwujudkan dalam bentuk ilmu pendidikan seperti halnya dengan model pendidikan di Eropa. Hanya saja ilmu pendidikan di Indonesia harus menunjukkan ciri khas negara Indonesia termasuk Pancasilanya. Ini berarti ilmu pendidikan harus digali dari bumi Indonesia sendiri.
Selanjutnya Buchori menunjukkan kepada kita bahwa kegiatan pendidikan di Indoneisa hanya baru satu segi saja, yaitu segi operasionalnya. Itupun hanya terjadi pada jalur pendidikan formal. Jalur pendidikan nonformal dan informal belum banyak yang digarap (Soedomo, 1990). Tentang landasan pendidikan Indonesia belum terjamah sama sekali.
Seperti diketahui ilmu pendidikan sebagai suatu ilmu yang utuh terdiri dari landasan, struktur, dan operasional pendidikan. Landasan akan memberi latar belakang, fondasi, atau titik tolak mengapa suatu pendidikan dibutuhkan, apa tujuan pendidikan atau kemana diarahakan pendidikan itu, untuk mencapai tujuan itu apa saja yang harus dibahas, apa saja yang harus diperhatikan agar tujuan dapat dicapai, siapa saja yang harus dilibatkan, dan sebagainya.
Sementara itu yang dimaksud dengan struktur ialah isi ilmu itu dengan sistematikanya serta proporsi bagian-bagiannya yang mendukung pendidikan sebagai suatu ilmu. Struktur ilmu pendidikan ciptaan luar negeri memang sudah ada. Tetapi struktur seperti itu kurang diperhatikan di Indonesia, sebagai akibat dari pro dan kontra mengenai pendidikan apakah sebagai ilmu atau sekedar sebagai proses belajar-mengajar seperti yang telah diutarakan di atas. Juga karena usaha untuk mewujudkan ilmu pendidikan yang cocok dengan alam Indonesia belum tampak secara jelas. Kedua hal inilah yang membuat struktur ilmu pendidikan belum ditangani.
Yang sudah ada seperti pernyataan Buchori adalah operasional atau praktik pendidikan. Suatu praktik tanpa landasan dan teori. Kelihatan memang aneh, tetapi hal itu dapat berjalan dengan relatif lancar. Di suatu negara berkembang atau yang baru berdiri, seperti Indonesia, kasus seperti ini sangat mungkin terjadi sebab bangsa ini belum sempat memikirkan landasan dan teori yang sudah tentu memakan waktu panjang untuk mewujudkannya. Sementara itu masyarakat tidak dapat dibiarkan begitu saja tanpa diberi pendidikan. Oleh sebab itu diambillah konsep dari sana sini, terutama dari dunia Barat, untuk diterapkan di Indonesia. Hasilnya memang tidak mengecewakan terutama bila dilihat dari segi kuantitas. Tetapi lulusan-lulusan itu belum bisa menunjukkan kualitasnya seperti yang dicita-citakan oleh bangsa ini. Untuk mencapai kualitas ini, teori ilmu pendidikan yang sesuai dengan budaya Indonesia perlu segera diwujudkan.
Ilmu pendidikan tidak persis sama dengan ilmu-ilmu yang lain. kalau ilmu yang lain bersifat empiris yang menerangkan apa adanya dari data yang didapat di lapangan dan bila mungkin meramalkan hal-hal yang akan terjadi, maka ilmu pendidikan disamping bersifat empiris, ia juga bersifat normatif. Bersifat normatif artinya mengupayakan agar norma-norma tertentu dapat diinternalisasi dan dilaksanakan oleh peserta didik dalam kehidupannya sehari-hari. Jadi ilmu pendidikan mengandung unsur-unsur fakta dan upaya. Fakta akan membentuk teori penjelasan tentang cara mendidik, sedangkan upaya akan membentuk kiat atau seni mensukseskan pendidikan terutama dalam memasukkan norma-norma ke dalam kehidupan peserta didik.
Bertalian dengan fakta dan upaya tersebut di atas Perry mengemukakan tiga metode dalam ilmu pendidikan seperti berikut (Soedomo, 1990).
1.      Metode normatif, suatu metode yang berusaha menjelaskan tentang keberadaan manusia, bagaimana seharusnya manusia itu bersikap dan bertindak terhadap dirinya dan terhadap sesama manusia maupun makhluk lain. menentukan nilai-nilai baik yang perlu dan membuang hal-hal yang tidak baik. Di Indonesia misalnya, tugas metode normatif ini adalah menjabarkan nilai-nilai Pancasila sehingga mudah diterapkan dalam pendidikan. Menentukan unsur-unsur yang bertentangan dengan Pancasila untuk dijauhkan dari diri peserta didik. Serta mencari kiat atau upaya agar norma-norma itu bisa diwujudkan dalam diri peserta didik.
2.      Metode eksplanatori, suatu metode yang berusaha menentukan kondisi dan kekuatan apa yang dapat membuat suatu proses pendidikan berhasil. Metode ini bersumber dari data atau hasil penelitian di lapangan, berupa kondisi dan kekuatan yang dimiliki oleh peserta didik. Kondisi dan kekuatan biasanya diambil dari ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan politik.
3.      Metode teknologi, ialah cara mendidik itu sendiri yaitu praktik mendidik di lapangan. Metode ini mencakup organisasi materi pelajaran, iklim dan lingkungan belajar, alat-alat dan media belajar, teknik penyampaian bahan, bentuk bimbingan belajar, dan sebagainya.
Dari uraian tersebut di atas tampaklah bagi kita bahwa terjadi ketidaksamaan pandangan di antara para ahli pendidikan tentang pendidikan itu sendiri. Sebagian yang berkiblat ke Amerika Serikat memandang pendidikan sebagai cara mengajar dan belajar, jadi tidak memerlukan ilmu pendidikan. Sebagian lagi berorientasi pada pendidikan di Eropa yang memandang pendidikan sebagai suatu ilmu yang utuh yaitu ilmu pedidikan.
Juga terjadi ketidakkonsistenan arah pendidikan karena pengarahan kurang jelas. Yang ada hanyalah arahan umum yang bisa ditemukan dalam UU Pendidikan Nasional beserta peraturan-peraturannya. Arahan seperti ini sulit diaplikasikan di lapangan. Sehingga tujuan-tujuan pendidikan di lapangan pada umumnya hanya memiliki dua corak yaitu TIU (tujuan instruksional umum) dan TIK (tujuan instruksional khusus), suatu tujuan yang hanya menjabarkan tujuan-tujuan pengajaran. Bagaimana mengaitkan tujuan-tujuan seperti ini dengan tujuan nasional belum terjawab. Ini pula yang menyebabkan tujuan pendidikan nasioanal belum bisa diwujudkan dengan baik sampai sekarang.
Sebagai konsekuensi kedua hal tersebut di atas adalah kekaburan yang menyelimuti para pelaksana pendidikan di lapangan. Mereka hanya melaksanakan petunjuk-petunjuk yang diberikan pada waktu mengikuti penataran atau pada waktu masih kuliah. Bila ditanya bagaimana cara mengembangkan manusia seutuhnya atau manusia Pancasila sejati, mereka tentu bingung menjawabnya.
Karena itu perlu dirintis dengan segera filsafat pendidikan yang cocok dengan kondisi serta budaya Indonesia. Suatu filsafat pendidikan yang dijabarkan dari filsafat Pancasila sebagai filsafat negara. Kita tidak perlu meniru sifat pendidikan di Amerika Serikat sebab filsafat hidup mereka berbeda dengan kita. Mereka tidak punya tujuan yang pasti, tetapi kita sudah punya tujuan yang pasti yang akan kita kejar, yang memberi arah kepada pendidikan kita. Oleh sebab itu, kita membutuhkan alat pendidikan yang pasti pula, suatu alat yang tepat untuk mencapai tujuan. Alat itu adalah teori pendidikan yang diwarnai oleh budaya bangsa Indonesia.
Untuk bisa membentuk teori pendidikan Indonesia yang valid, terlebih dahulu dibutuhkan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia yang memadai. Filsafat ini akan menguraikan tentang:
1.    Pengertian pendidikan yang jelas, yang satu, dan berlaku di seluruh tanah air. Apakah pendidikan itu member kebebasan penuh kepada individu untuk berkembang apakah mereka perlu diarahkan, kalau ya, sampai di mana batas-batas pengarahan itu. Apakah peranan pendidikan pendting bagi peningkatan sumberdaya manusia, mana yang lebih penting disbandingkan dengan pembawaan? Apakah belajar untuk belajar atau mengaktualisasi diri atau belajar untuk mengejar prestasi. Apakah semua orang berhak mendidik atau hanya mereka yang sudah professional saja? Dan sebagainya.
2.    Tujuan pendidikan, yaitu pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang diwarnai oleh sila-sila Pancasila. Tujuan ini mengoprasionalkan manusia Indonesia seutuhnya dan juga mengoperasionalkan wujud sila-sila Pncasila dalam diri peserta didik secara detail. Agar satu persatu dapat ditanamkan melalui proses belajar-mengajar. Juga perlu dijelaskan kaitan antara sila-sila Pancasila dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat serta isi ajaran-ajaran agama di Indonesia agar dapat ditanamkan pada diri peserta didik. Bagaimana mengaitkan tujuan pendidikan ini dengan era globalisasi yang sedang melanda dunia atau bagaimana membuat tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan ini tidak tidak ketinggalan zaman? Bagaimana mengaitkan tujuan institusional dengan tujuan umum agar setiap lulusan mencerminkan manusia berkembang seutuhnya serta berciri Pancasila.
3.    Model pendidikan, yang membahas tentang model pendidikan di Indonesia yang tepat. Apakah model tunggal atau majemuk sesuai dengan macam lulusan yang diinginkan? Model pendidikan akan menyangkut teori tentang pendidikan. Semua teori pendidikan yang utuh lengkap dengan strukturnya, yang satu, dan diberlakukan di seluruh tanah air karena mendukung terbentuknya manusia berkembang seutuhnya yang Pancasilais. Bila saja teori pendidikan itu diberi variasi di sana-sini yang akan menimbulkan berbagai model, tetapi batang tubuhnya tetap sama. Inilah yang akan menjelma menjadi ilmu pendidikan bercorak Indonesia yang konsep-konsepnya dikembangkan lewat penelitian-penelitian di lapangan.
4.    Cara mencapai tujuan, yaitu segi teknik dan pendidikan itu sendiri. Teknik mendidik seringkali berkaitan dengan siapa yang dididik, apa yang dipelajari, dan bagaimana filsafat pendidikan itu sendiri. Mengenai siapa yang dididik aan mengungkapkan psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Juga mengungkapkan sosiologi anak serta antropologi atau norma dan budaya yang dianut oleh anak-anak. Selanjutnya setiap materi atau rumpun materi yang dipelajari membutuhkan teknik tertentu. juga dukungan materi itu untuk mengembangkan aspek afeksi, kognisi, dan psikomotor membutuhkan teknik yang berbeda-beda pula. Tentang fasilitas pendidikan akan mencakup iklim dan lingkungan belajar, alat dan media belajar, organisasi materi, kegiatan peserta didik, cara membimbing siswa, dan sebagainya, yang juga membutuhkan variasi sesuai dengan materi yang dipelajari dan arah pendidikan.

Referensi :
Made Pidarta. 2013. Landasan Kependidikan. Jakarta: Asdi Mahasatya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar