Minggu, 02 Oktober 2016

Filsafat Pendidikan

           
            Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Ada sejumlah filsafat pendidikan yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia. Namun demikian semua filsafat itu akan menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut: (Ateng Sutisna, 1990)

1.      Apakah pendidikan itu?

2.      Apa yang hendak ia capai?

3.      Bagaimana cara terbaik merealisasi tujuan-tujuan itu?

Masing-masing pertanyaan ini dapat dirinci lebih lanjut. Berbagai pertanyaan yang bertalian dengan apakah pendidikan itu, antara lain:

1.      Bagaimana sifat pendidikan itu?

2.      Apakah pendidikan itu merupakan sosialisasi?

3.      Apakah pendidikan itu sebagai pengembangan individu?

4.      Bagaimana mendefinisikan pendidikan itu?

5.      Apakah pendidikan itu berperan penting dalam membina perkembangan anak?

6.      Apakah pendidikan itu mengisi perkembangan atau mengarahkan perkembangan siswa?

7.      Apakah perlu membedakan pendidikan teori dengan pendidikan praktik?

Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang hendak dicapai oleh pendidikan, antara lain:

1.      Berapa proporsi pendidikan yang bersifat umum?

2.      Berapa proporsi pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu?

3.      Apakah peserta didik diperbolehkan berkembang bebas?

4.      Apakah perkembangan peserta didik diarahkan ke nilai tertentu?

5.      Bagaimana sifat manusia itu?

6.      Dapatkah manusia diperbaiki?

7.      Apakah manusia itu sama atau unik?

8.      Apakah ilmu dan teknologi satu-satunya kebenaran utama dalam era globalisasi ini?

9.      Apakah tidak ada kebenaran lain yang dapat dianut pada perkembangan manusia?

Pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan cara terbaik merealisasi tujuan pendidikan, antara lain:

1.      Apakah pendidikan harus berpusat pada mata pelajaran atau pada peserta didik?

2.      Apakah kurikulum ditentukan lebih dahulu atau berupa pilihan bebas?

3.      Ataukah peserta didik menentukan kurikulumnya sendiri?

4.      Apakah lembaga pendidikan permanen atau bersifat tentatif?

5.      Apakah proses pendidikan berbaur pada masyarakat yang sedang berubah cepat?

6.      Apakah diperlukan kondisi-kondisi tertentu dalam mendidik anak-anak?

7.      Siapa saja yang perlu dilibatkan dalam mendidik anak-anak?

8.      Perkembangan apa saja yang diperlukan dalam proses pendidikan?

9.      Apakah diperlukan nilai-nilai penuntun dalam proses pendidikan?

1.      Bagaimana sebaiknya proses pendidikan itu, otoriter primitif, atau demokratis?

1.    Belajar menekankan prestasi atau terpusat pada pengembangan cara belajar dan kepuasan akan hasil belajar?

Sesudah kita mengetahui sejumlah pertanyaan yang sering muncul di benak para filsof pendidikan, yang membuat mereka berpikir dan merenung tentang pendidikan, ada baiknya kita simak tulisan Zanti Arbi (1988) yang menceritakan tentang maksud filsafat pendidikan sebagai berikut:

1.      Menginspirasikan.

2.      Menganalisis.

3.      Mempreskriptifkan.

4.      Menginvestigasi.

Maksud menginspirasikan adalah memberi inspirasi kepada para pendidik untuk melaksanakan ide tertentu dalam pendidikan. Melalui filsafat tentang pendidikan, filsof memaparkan idenya bagaimana pendidikan itu, ke mana diarahkan pendidikan itu, siapa saja yang patut menerima pendidikan, dan bagaimana cara mendidik serta peran pendidik. Sudah tentu ide-ide ini didasari oleh asumsi-asumsi tertentu tentang anak manusia, masyarakat atau lingkungan, dan negara. Salah satu contoh filsafat menginspirasi adalah buku Emile karya Rousseau. Dia ingin memberi inspirasi kepada para pendidik tentang pendidikan naturalis atau mempengaruhi para pendidik untuk mengikuti idenya mengenai pendidikan alami. Emile adalah nama anak yang menerima pendidikan. Dalam buku ini Rousseau menceritakan bahwa anak-anak tidak perlu diarahkan atau melalui metode-metode tertentu. Mereka cukup dihindarkan dari kemungkinan kena bencana berat saja. Selebihnya biarlah mereka berkembang sendiri di alam, biar alam yang mendidik mereka, biar mereka mendapatkan pengalaman langsung sendiri-sendiri. Dari pengalaman-pengalaman ini mereka akan belajar banyak dan berkembang secara perlahan-lahan.

Sementara itu yang dimaksud dengan menganalisis dalam filsafat pendidikan adalah memeriksa secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara jelas validitasnya. Hal ini perlu dilakukan agar dalam menyusun konsep pendidikan secara utuh tidak terjadi kerancuan, tumpang tindih, serta arah yang simpang siur. Dengan demikian ide-ide yang kompleks bisa dijernihkan terlebih dahulu, tujuan pendidikan yang jelas, dan alat-alatnya juga dapat ditentukan dengan tepat.

Francis Bacon dalam bukunya The Advancement of Learning mengemukakan tesis bahwa kebanyakan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia mengandung unsur-unsur validitas yang bermanfaat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sehari-hari, bila pengetahuan itu dibersihkan dari konsep yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bacon menggunakan logika induktif sebagai teknik kritis atau analisis untuk menemukan arti pendidikan yang dapat diandalkan. Melalui pengalaman secara kritis dengan logika induktif akan dapat ditemukan konsep-konsep pendidikan yang dapat diandalkan.

Mempreskriptifkan dalam filsafat pendidikan adalah upaya menjelaskan atau memberi pengarahan kepada pendidik melalui filsafat pendidikan. Yang dijelaskan bisa berupa hakikat manusia bila dibandingkan dengan makhluk lain, aspek-aspek peserta didik yang patut dikembangkan: proses perkembangan itu sendiri, batas-batas bantuan yang bisa diberikan kepada proses perkembangan itu sendiri, batas-batas keterlibatan pendidik, arah pendidikan yang jelas, target-target pendidikan bila dibandang perlu, perbedaan arah pendidikan bila diperlukan sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat anak-anak. Semua penjelasan ini diberi rasional dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Sebagai contoh, Johann Herbart dalam bukunya Scence of Education menginginkan agar guru mempunyai informasi yang dapat diandalkan mengenai tujuan pendidikan yang ingin dicapai dan proses belajar sebelum guru ini memasuki kelas. Pondasi pendidikan yang dikonstruksi di atas tradisi yang masih kabur perlu segera diganti dengan informasi-informasi yang valid. Suatu informasi yang direkonstruksi dari atau secara ilmiah.

Dan maksud menginvestigasi dalam filsafat pendidikan adalah untuk memeriksa atau meneliti kebenaran suatu teori pendidikan. Pendidik tidak dibenarkan mengambil begitu saja suatu konsep atau teori pendidikan untuk dipraktikkan di lapangan. Pendidik seharusnya mencari sendiri konsep-konsep pendidikan di lapangan atau melalui penelitian-penelitian. Untuk sementara filsafat pendidikan bisa dipakai latar pengetahuan saja. Selanjutnya setelah pendidik berhasil menemukan konsep, barulah filsafat pendidikan dimanfaatkan untuk mengevaluasinya, atau sebagai pembanding, untuk kemungkinan sebagai bahan merevisi, agar konsep pendidikan itu menjadi lebih mantap.

John Dewey dalam bukunya Democracy and Education menyatakan bahwa pengalaman adalah tes terakhir dari segala hal. Mereka memandang pengalaman sebagai sendi-sendi semua filsafat pendidikan yang mempunyai komitmen terhadap inquiry atau penyelidikan. Filsuf berfungsi memilih pengalaman-pengalaman yang cocok untuk memajukan efesiensi sosial. Filsafat  pendidikan berusaha menafsirkan proses belajar-mengajar menurut prosedur pengujian ilmiah dan kemudian memberi komentar tentang nilai atau kemanfaatannya. Filsafat pendidikan mencari konsekuensi proses belajar mengajar, apa yang telah dilakukan, apa kelemahannya, dan bagaimana cara mengatasi kelemahan itu.

Sesudah membahas tentang pernyataan-pernyataan dan maksud-maksud filsafat pendididkan, dapatlah kita menggambarkan apa sesungghnya yang diinginkan oleh filsafat pendidikan. Para filsuf, melalui karya filsafat pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang pendidikan, yang menurut pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta didik dan pendidik maupun ditinjau dari latar geografis, sosiologis, dan budaya suatu bangsa. Dari sudut pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliran Perenialis, Realis, Empiris, Naturalis, dan Eksistensialis. Sedangkan dari sudut geografis, sosiologis, dan budaya akan menimbulkan aliran Esensialis, Tradisionalis, Progresivis, dan Rekonstruksionis. Dengan catatan aliran-aliran baru sangat mungkin akan muncul di kemudia hari.

Berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut, memberi dampak terciptanya konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan mendukung masing-masing filsafat pendidikan itu. Dalam membangun teori-teori pendidikan, filsafat pendidikan juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan di atas kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori pendidikan harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah.

Filsafat pendidikan juga mengingatkan kepada kita agar sangat hati-hati menyusun suatu teori. Struktur teori itu harus jelas, tidak boleh tumpang tindih. Suatu teori yang akan dibangun perlu dianalisis bagian-bangiannya, cabang-cabangnya, dan ranting-rantingnya, termasuk pengertian pendidikan itu sendiri, tujuan pendidikan, dan cara-cara mencapai tujuan. Masing-masing bagian perlu divalidasi terlebih dahulu agar bebas dari salah tafsir, memakai terminologi yang tepat, definisi yang jelas, dan sebagainya. Sesudah itu barulah disusun secara sistematis, diintegrasikan satu sama lain, sehingga menjadi suatu teori pendidikan yang utuh.

Agar uraian tentang filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap, berikut  akan dipaparkan tentang beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia ini. Aliran itu adalah:

1.      Esensialis

2.      Perenialis

3.      Progresivis

4.      Rekonstruksionis

5.      Eksistensialis

Filsafat pendididkan Esensialis bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa Latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk manusia-manusia berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tokohnya antara lain Brameld.

Tekanan pendidikannya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari kebudayaan Yunani-Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang sulit, diyakini otak peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin sangat diperhatikan. Pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan, yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga mempercepat kebiasaan berpikir efektif. Pengajaran terpusat pada guru.

Pengaruh filsafat ini sangat kuat sampai sekarang. Sekolah-sekolah dengan kurikulum dan metode tradisionalnya merupakan perwujudan filsafat pendidikan ini. Sementara itu kebudayaan klasik yang dipandang esensial seperti itu di dunia timur adalah Mahabarata dan Ramayana.

Filsafat pendidikan Perenialis tidak jauh berbeda dengan filsafat pendidikan Esensialis. Jika kebenaran esensial pada esensialis ada pada kebudayaan klasik dengan Great Booknya, maka kebenaran Perenialis ada pada wahyu Tuhan. Tentang bagaimana cara menumbuhkan kebenaran itu pada diri peserta didik dalam proses belajar-mengajar tidaklah jauh berbeda antara Esensialis dengan Perenialis. Proses pendidikan mereka sama-sama bersifat tradisonal.

Filsafat ini muncul pada abad pertengahan pada zaman keemasan agama Katolik-Kristen. Pada zaman itu tokoh-tokoh agama menguasai hampir semua bidang kemasyarakatan. Sehingga sangat logis jika sekolah-sekolah yang berintikan ajaran agama muncul di sana-sini. Ajaran agama itulah merupakan suatu kebenaran yang patut dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh filsafat ini ialah Agustinus dan Thomas Aquino.

Ajaran Plato tentang dunia ide dalam filsafat Idealis, yang muncul lebih dahulu dari Perenialis, mirip dengan paham Agustinus. Sebab menurut Plato kebenaran hanya ada di dunia ide, di luar itu adalah semu. Sebab itu Plato sering dimasukkan sebagai penganut Perenialis.

Pengaruh filsafat ini menyebar ke seluruh dunia. Bukan saja di kalangan Katolik dan Protestan, tetapi juga pada agama-agama lain. demikian kita lihat di Indonesia banyak diwarnai oleh keagamaan seperti Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama di samping sekolah-sekolah Katolik dan Kristen.

Filsafat pendidikan Progresivisme lahir di Amerika Serikat. Filsafat ini sejalan dengan jiwa bangsa Amerika pada waktu itu, sebagai bangsa yang dinamis berjuang mencari hidup baru di negeri seberang. Bagi mereka tidak ada hidup yang tetap, apalagi nilai-nilai yang abadi. Yang ada adalah perubahan. Mereka sangat menekankan kehidupan sehari-hari, maka segala tindakan mereka diukur dari kegunaan praktisnya.

Demikianlah Progresivisme mempunyai jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata. Menurut filsafat ini, tidak ada tujuan yang pasti, begitu pula tidak ada kebenaran yang pasti. Tujuan dan kebenaran itu bersifat relatif. Apa yang sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan belum tentu masih tetap benar. Ukuran kebenaran ialah yang berguna bagi kehidupan manusia hari ini.

Karena tujuan tidak pasti, maka cara atau alat untuk mencapai tujuan itu pun tidak pasti pula. Tujuan dan alat bagi mereka adalah satu, artinya bila tujuan berubah maka alat pun berubah pula. Tokoh filsafat pendidikan Progresivis ini adalah John Dewey.

Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, maka yang dipentingkan dalam pendidikan adalah mengembangkan peserta didik untuk bisa berpikir, yaitu bagaimana berpikir yang baik. Hal ini bisa dicapai melalui metode belajar pemecahan masalah yang dilakukan oleh anak-anak itu sendiri. Karena itu pendidikan menjadi terpusat pada anak. Untuk mempercepat proses pengembangan mereka juga menekankan prinsip mendisiplin diri sendiri, sosialisasi, dan demokratisasi. Perbedaan-perbedaan individual juga sangat mereka perhatikan dalam pendidikan.

Kurikulumnya adalah kehidupan itu sendiri, artinya kurikulum tidak dibatasi pada hal-hal yang bersifat akademik saja. Semua pengetahuan adalah merupakan produk berpikir melalui pengalaman. Sekolah merupakan bagian dari masyarakat. maka pendidikan mengupayakan kehidupan sosial yang lebih baik serta sebagai agen pembaruan masyarakat. etika juga bersumber dari kesepakatan sosial dan akan berubah manakala masyarakat berubah.

Filsafat pendidikan Rekonstruksionis merupakan variasi dari Progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki (Callahan, 1983). Mereka bercita-cita mengkonstruksi kembali kehidupan manusia secara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat baru aliran yang ekstrim ini berupaya merombak tata susunan masyarakat lama dan membangun tata susunan hidup yang baru, melalui lembaga dan proses pendidikan. Proses belajar dan segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak berbeda dengan aliran Progresivis.

Filsafat pendidikan Eksistensialis berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas. Akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya sendiri (Callahan, 1983).

Seseorang akan menjadi tahu tentang sesuatu melalui pengalaman. Hal itu bergantung kepada tingkat kesadaran masing-masing untuk mencari pengalaman. Kebenaran menurut mereka adalah relatif bergantung kepada keputusan mereka masing-masing. Begitu pula nilai-nilai ditentukan oleh setiap individu. Orang tidak perlu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai sosial, agar eksistensi dirinya tidak hilang.

Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri. Materi pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok, materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan langsung dalam kehidupan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru harus bersifat demokratis dengan teknik mengajar tidak langsung.



Referensi :

Made Pidarta. 2013. Landasan Kependidikan. Jakarta: Asdi Mahasatya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar