Senin, 03 Oktober 2016

Sex dan Gender

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka memahami persoalan kaum Hawa, khususnya tindak kekerasan terhadap perempuan, adalah membedakan antara konsep jenis kelamin (sex) dan konsep gender (Susanto, 2005:48). Dengan demikian, pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep sex dan gender sangat diperlukan dalam membahas masalah ketidakadilan sosial (Fakih, 1996: 3-4).
Pada dasarnya istilah sex dan gender itu berbeda pengertian. Jika kita berbicara mengenai istilah sex berarti kita berbicara pria ataupun wanita yang pembedaannya berdasar pada jenis kelamin. Dalam kata lain, sex merujuk pada pembedaan antara pria dan wanita berdasar pada jenis kelamin yang ditandai oleh perbedaan anatomi tubuh dan genetiknya. Perbedaan seperti ini lebih sering disebut sebagai perbedaan secara biologis (alami) atau bersifat kodrati (tetap), dalam artian sudah melekat pada masing-masing individu semenjak lahir.
Karena itu laki-laki mempunyai kumis, jenggot, jakun, dan bentuk anatomi tubuh lain serta gen yang tidak dimiliki perempuan. Sedangkan perempuan tidak mempunyai kumis, jenggot, jakun, tetapi mempunyai rahim, sel telur, dan bentuk anatomi serta gen yang tidak dimiliki pria.
Jadi anatomi tubuh dan faktor genetik tersebut bersifat kodrati karena bersumber langsung dari Tuhan. Karena hal-hal tersebut berasal dari Tuhan, maka apa yang membedakan pria dan wanita secara biologis tersebut tidak dapat dipertukarkan, seperti rahim yang tiba-tiba dimiliki pria, atau wanita bisa berjakun, dan sebagainya. Secara kodrati, bentuk anatomi tubuh pria dan wanita berbeda. Pria berbentuk seperti itu dan wanita seperti ini. Hal tersebut tidak dapat dipertukarkan. Maka pembedaan ini pun tidak mengenal batas waktu, tidak mengenal pembedaan kelas masyarakat, dan berlaku di mana saja.
Hubeis (2010:71) memaparkan bahwa memang ada perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki dalam ciri biologis yang primer dan sekunder. Ciri biologis primer yaitu tidak dapat dipertukarkan atau diubah (sulit) dan merupakan pemberian atau ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, kecuali dengan cara operasi.
“Seperti kasus artis Dorce Gamalama yang berubah dari laki-laki menjadi perempuan, tapi tetap tidak memiliki kemampuan untuk hamil karena diluar kemampuan medis (ciptaan Tuhan). Begitupun untuk kasus Thomas Beatie yang berganti kelamin dari perempuan menjadi laki-laki, tapi tetap mampu mengandung seorang bayi sebab bagaimanapun ia tidak bisa menghilangkan kodratnya sebagai seorang perempuan, yakni menstruasi, hamil, dan melahirkan”.
Lantas bagaimana dengan gender?
Disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4).
Karakteristik tersebut (perilaku, sikap, dan peran) dapat dipertukarkan. Dalam hal ini, pria dapat berperan selayaknya pria namun juga bisa berperan sebagai wanita (menjalani nilai-nilai feminim: memasak, menjahit, menjaga anak, dan sebagainya). Sedangkan wanita juga dapat berperan sebagaimana seorang wanita, namun sudah banyak sekarang wanita yang menggeluti peran pria juga (menjalani nilai-nilai maskulin: menarik becak, bekerja di kantor sebagai wanita karir, supir busway, dan sebagainya).
Seperti kasus yang terjadi pada Wiwin Sulistiawati asal Depok yang menjadi wanita pengojek untuk menghidupi serta membiayai operasi anaknya yang masih balita. Hal ini terpaksa Wiwin kerjakan karena diusir oleh suami siri dari rumah mertua untuk menghidupi anaknya.
Dalam kasus tersebut mengandung teori sosial-konflik yang diungkapkan oleh Dahrendorf dan R. Collins yang menganggap konflik tidak hanya terjadi karena perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, termasuk ketegangan antara orang tua dan anak, suami dan isteri, senior dan junior, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya (Nasaruddin Umar, 1999: 64).
Gender membuat adanya pandangan kepada perempuan bahwa perempuan bisa lebih mandiri. Yohana Yembise mendorong setiap perempuan untuk berkiprah dalam pembangunan. Dengan jumlah perempuan lebih dari separuh total penduduk Indonesia, ini tentu menjadi asset bangsa yang berharga. Seiring dengan perkembangan zaman dan era globalisasi yang semakin maju, perempuan diberi kesempatan serta peran yang sama dengan pria untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
Maka partisipasi perempuan yang dimaksudkan adalah bentuk kesediaan perempuan secara sukarela dalam menunjang program-program baik atas inisiatif masyarakat local maupun pemerintahan yang tercermin dari pikiran, sikap dan tindakan mereka baik sifatnya individual maupun kolektif dalam model kerangka partisipasi yang dikembangkan baik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun pengambilan manfaat dari program-program yang terdapat di lingkungan tempat tinggal mereka.
Teori yang mendasari kasus tersebut adalah Teori Feminisme Liberal. Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228). 
Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar