Kamis, 13 Oktober 2016

Substansi Filsafat Ilmu



A.    Kenyataan atau Fakta


1.      Kesenjangan antara Kebenaran dan Fakta


Di zaman dahulu, nilai-nilai kebenaran sangat dijunjung tinggi oleh para orang tua, pendidik, ulama, dan anggota masyarakat dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Prinsip satu kata dengan perbuatan atau perilaku masih terwujud dalam fakta yang dapat diamati. Sebagai contoh: keluarga kaum ulama pada zaman dahulu masih konsisten dalam menjalankan ajaran agama Islam tentang etika bergaul antara pria dan wanita, etika tentang tata cara berpakaian menurut Islam bagi kaum pria dan wanita, serta etika-etika lainnya yang semuanya telah diatur dalam Al Qur’an dan Al Hadist. Ajaran-ajaran dalam Islam tersebut merupakan suatu kebaikan dan kebenaran yang sifatnya mutlak. Karena itu, tata cara bergaul antara pria dan wanita serta tata cara berpakaian antara pria dan wanita Islam di zaman praglobalisasi penuh dengan nilai-nilai dan etika tentang sopan santun. Fenomena ini terwujud dalam fakta di masyarakat yang diamati dalam kehidupan sehari-hari.

Sebaliknya di era globalisasi, nilai-nilai kebenaran khususnya kebenaran etika bergaul dan perpakaian antara pria dan wanita menurut Islam sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian anggota masyarakat remaja yang terwujud dalam fakta. Sebagai contoh ajaran Islam tentang ‘larangan mendekati zina’ sebagai suatu ajaran yang mengandung nilai kebenaran mutlak, kini telah ditinggalkan oleh sebagian remaja yang berpola pikir kebarat-baratan. Islam juga mengajarkan nilai sopan santun yang mengandung nilai kebenaran tentang keharusan kaum wanita untuk menutup aurat, namun dalam faktanya, sebagian remaja kita telah menganggap ajaran itu tidak benar atau kuno, sehingga mereka berpakaian sangat seksi. Karena itu dapat disimpulkan bahwa nilai kebenaran agama mengalami krisis dan kesenjangan dengan kenyataan atau fakta yang diamati dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.


2.      Cara Mencari Kebenaran Menurut Ilmu, Filsafat, dan Agama


Menurut perspektif sains atau ilmu pengetahuan, kebenaran dapat diperoleh melalui penyelidikan dengan menggunakan metode ilmiah, logis untuk mencari bukti empiris dalam upaya untuk menguji hipotesis menjadi tesis atau tidak dan untuk menarik kesimpulan yang dapat digeneralisasikan (Ahmad Tafsir, 2002). Dengan kata lain, kebenaran menurut ilmu pengetahuan dapat dicari dan ditemukan melalui cara-cara yang ilmiah dengan prosedur yang sistematis dan ilmiah dalam melakukan penyelidikan empiris untuk menarik kesimpulan sebagai suatu kebenaran. Jadi, kebenaran ilmiah dapat dicari dan ditemukan dengan data yang logos dan empiris.

            Kebenaran yang diperoleh melalui metode ilmiah yang penuh dengan logika dan bukti-bukti empiris untuk menemukan suatu kesimpulan sebagai sebuah kebenaran merupakan kebenaran yang ilmiah. Kebenaran ilmiah dapat menjadi sebuah teori ilmiah yang membangun ilmu pengetahuan. Salah satu contoh tentang cara mencari kebenaran menurut perspektif ilmu pengetahuan ialah dengan melakukan pendidikan untuk mencari dan menemukan data empiris dengan menggunakan metode dan prosedur yang ilmiah (Mudyahardjo, 2004). Sebagai contoh sederhana adalah, apakah benar pemberian pupuk pada tanaman dapat menyuburkan pertumbuhan tanaman, maka dilakukan eksperimen dengan membentuk dua kelompok objek penelitian, yaitu sekelompok tanaman diberikan pupuk secukupnya dalam jangka waktu tertentu dengan metode ilmiah, sedangkan kelompok lain tidak diberikan pupuk, maka dapat dilihat hasil yang diperolehnya.

            Dari hasil penelitian dan eksperimen yang dilakukan di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa, “ada pengaruh pupuk terhadap pertumbuhan tanaman”, merupakan sebuah kebenaran ilmiah yang diperoleh dengan bukti empiris melalui hasil penyelidikan berupa eksperimen di lapangan. Survei tentang jumlah penduduk di suatu negara dan jenis-jenis pekerjaan yang dilakoni juga merupakan cara mencari kebenaran tentang data kependudukan. Kesimpulan hasil survei tersebut adalah juga merupakan sebuah kebenaran ilmiah.

            Menurut perspektif agama, suatu kebenaran dapat dicari dan ditemukan, serta diterima melalui proses ilmiah sebagai basis yang utama. Namun demikian, proses aqliah atau pikiran (logika) juga dapat digunakan sebagai alat penunjang proses ilmiah untuk memperkuat kebenaran wahyu sebagai proses ilmiah. Contoh kebenaran wahyu atau agama yang hanya dapat diterima melalui proses imaniah ialah peristiwa isra mi’raj nabi besar Muhammad SAW ke sidratul muntaha. Peristiwa ini tidak daat diterima melalui proses logika, namun ini sebuah fakta dan kebenaran yang hanya dapat diterima melalui proses imaniah.

            Menurut perspektif filsafat, suatu kebenaran dapat dicari, ditemukan, dan diterima melalui proses logika. Dengan kata lain, filsafat ialah kebenaran yang yang dihasilkan melalui berpikir radikal. Bukti empiris tidak diperlukan dalam mencari, menemukan, dan menerima suatu kebenaran melainkan proses pikir dan hasil pikir yang logis merupakan ukuran dalam mencari, menemukan, dan menerima suatu kebenaran. Karena itu, hakikat kenyataan secara total (ontologi) yang berhubungan dengan etika dan estetika menjadi objek dari filsafat (Mudyahardjo, 2004).

3.      Sifat Kebenaran Menurut Perspektif Ilmu, Agama, dan Filsafat


Kebenaran yang ditemukan berdasarkan perspektif agama adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan tidak perlu disangsikan kebenarannya karena merupakan kebenaran wahyu yang diterima melalu proses imaniah dan logika sebagai proses pikir penunjang. Kebenaran yang ditemukan berdasarkan perspektif sains (ilmu) adalah  kebenaran yang bersifat relatif dan masih perlu disangsikan kebenarannya, melalui penelitian ilmiah hanya sekitar 95 sampai 99% atau sifatnya tidak mutlak. Sedangkan kebenaran yang ditemukan berdasarkan perspektif filsafat juga merupakan kebenaran yang tidak bersifat mutlak dan masih perlu disangsikan kebenarannya melalui proses logika yang lebih radikal.


4.      Keterkaitan antara Fakta dan Kebenaran


Kebenaran adalah sesuatu yang ada secara objektif, logos, dan merupakan sesuatu yang empiris. Sedangkan fakta merupakan kenyataan yang terjadi yang dapat diterima secara logis dan dapat diamati secara nyata dengan pancaindera manusia. Kasus jatuhnya pesawat Mandala di Medan beberapa tahun yang lalu merupakan contoh suatu fakta yang terjadi di lapangan. Kenyataan berupa kasus jatuhnya pesawat tersebut merupakan suatu kasus yang benar adanya, dengan kebenaran atas terjadinya kecelakaan pesawat merupakan suatu fakta yang tidak bisa dibantah lagi atas kebenarannya, baik secara logika maupun secara empiris. Contoh lain, shalat dapat mencegah manusia kepada kemungkaran merupakan suatu kebenaran wahyu yang tidak dapat dibantah lagi, baik secara logika maupun secara empiris, karena dalam kenyataannya apabila orang shalatnya baik dan benar, maka perilakunya menjadi bagus di masyarakat.


Dari uraian dan contoh di atas, menunjukkan bahwa antara kebenaran dan fakta merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan kata lain, antara fakta dan kebenaran, dan antara kebenaran dengan fakta merupakan dua hal yang berkaitan sangat erat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar