Senin, 03 Oktober 2016

Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia


Upaya-upaya merumuskan filsafat pendidikan di Indonesia baru dalam tahap perhatian. Perhatian-perhatian terhadap perlunya filsafat pendidikan itu pun baru muncul di sana-sini belum terkoordinasi menjadi suatu perhatian besar untuk segera mewujudkannya. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari kesimpangsiuran pandangan para pendidik terhadap pendidikan itu sendiri.
Ada suatu hasil penelitian bertalian dengan hal di atas yang dilakukan oleh Jasin, dkk (1994) dengan responden para mahasiswa PGSD, S1, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan para ahli pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal seperti berikut (1) lebih dari sebagian responden menginginkan penegasan kembali pengertian pendidikan dan pengajaran, (2) hampir sebagian responden mahasiswa dan dosen berpendapat bahwa ilmu pendidikan kurang dikembangkan, sementara itu seperlima para ahli pendidikan menyatakan pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru, (3) para mahasiswa dan dosen berpendapat ilmu pendidikan adalah ilmu mandiri, sementara itu hampir sepertiga para ahli menyatakan ilmu pendidikan adalah ilmu terapan, dan (4) semua responden menyatakan kurang mengenal struktur ilmu pendidikan. Karena keragaman pandangan di atas membuat responden terpecah menjadi sebagian mendukung pernyataan yang menyatakan guru tidak mendidik melainkan mengajar dan sebagian lagi menolak. 
Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik sejumlah masalah bertalian dengan ilmu pendidikan, yaitu :
1.    Belum jelas pengertian pendidikan dan pengajaran.
2.    Ilmu pendidikan kurang dikembangkan.
3.    Ilmu pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
4.    Belum jelas apakah ilmu pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
5.    Struktur ilmu pendidikan kurang dikenal.
6.    Belum jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.
Keenam masalah tersebut menunjukkan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan sebagai ilmu belum ditangani. Mulai dari pengertian pendidikan, juga pengertian pengajaran, apakah sebagai ilmu dasar atau ilmu terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan penerapannya pada para calon guru dan guru-guru masih belum jelas. Kondisi ilmu pendidikan seperti ini terjadi karena memang ilmu itu belum digali dan dikembangkan.
Untuk mengembangkan ilmu pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih dahulu diperlukan pemikiran dan perenungan yang mendalam tentang ilmu itu sendiri dan budaya serta geografis Indonesia yang akan mewarnainya. Pemikiran dan perenungan itu adalah filsafat yang khusus membahas pendidikan yang tepat diterapkan di Indonesia. Dengan kata lain, untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.
Bagaimana kiat untuk meningkatkan kegiatan usaha merumuskan filsafat pendidikan di Indonesia ini, yang kini baru dalam tahap perhatian yang bersifat sporadis? Tampaknya kiat itu perlu disesuaikan dengan alam kebiasaan bangsa Indonesia saat ini. Sesuatu akan terjadi secara relatif lebih mudah bila gagasan itu bersumber dari dan disepakati oleh pemerintah. Filsafat pendidikan akan lebih mudah mendapat jalan dalam pengembangannya, manakala pemrakarsa dapat menggugah hati pemerintah untuk menyetujuinya.
Upaya mendorong pemerintah untuk memberi isyarat akan pentingnya merumuskan filsafat pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan menjelang siding umum MPR (Kompas, 27 November 1992), sebagai satu sumbangan untuk bahan sidang umum itu. Namun GBHN 1993 sebagai produk sidang itu, tidak mencantumkan perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan. Hal itu menunjukkan kemauan politik pemerintah ke arah tersebut belum ada. Mudah-mudahan di waktu yang akan datang kemauan tersebut akan muncul.
Di samping kunci utama untuk memulai kegiatan pengembangan filsafat pendidikan itu belum ada, ada lagi kunci kedua yang membuat sulitnya mengembangkan filsafat dan teori pendidikan itu, yaitu kesulitan menjabarkan sila-sila Pancasila agar mudah diterapkan di lapangan. Memang benar sila-sila Pancasila pernah dijabarkan menjadi 45 butir, tetapi penjabaran itu belum tentu sesuai dengan kebiasaan kerja para ahli pendidikan yang membuat hasil kerja mereka lebih mudah diterapkan di lapangan. Sampai sekarang tidak setiap ahli siap menjabarkan sila-sila Pancasila.
Andaikan isyarat untuk mewujudkan filsafat pendidikan sudah ada atau sudah ada suatu kelompok yang sudah berupaya merumuskan filsafat itu, maka ada beberapa hal yang perlu dipikirkan. Hal-hal yang dimaksud adalah :
1.      Apakah filsafat pendidikan yang akan dibentuk, yang sesuai dengan kondisi dan budaya Indonesia akan diberi nama Filsafat Pendidikan Pancasila atau dengan nama lain?
2.      Apakah nama filsafat pendidikan itu diambil dari filsafat pendidikan internasional yang sudah ada, dengan memilih salah satu dari Esensialis, Perenialis, Progresivise, Rekonstruksionis, dan Eksistensialis? Sehingga tinggal merevisi agar cocok dengan kondisi Indonesia.
3.      Ataukah filsafat itu dimunculkan bersumber dari filsafat-filsafat umum yang berlaku secara internasional, seperti yang dilaksanakan oleh negara Australia. Ahli pendidikan di Australia menyatakan filsafat yang mendasari pendidikan mereka adalah Liberal, Demokrasi, dan Multikultural (Made Pidarta, 1995). Seakan-akan mereka tidak memiliki filsafat khusus tentang pendidikan.
ISPI (1989) mengingatkan bahwa tugas utama para ahli ilmu pendidikan adalah (1) mengungkapkan pemikiran yang sistematik dan mendasar mengenai implikasi filsafat Pancasila dalam filsafat pendidikan nasioanal yang akan dibentuk, dan (2) dalam menggunakan sumber-sumber dari luar termasuk teori pendidikan perlu diadakan saringan-saringan agar sesuai dengan filsafat negara kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar